“melihat lebih dekat, mencoba menggunakan sepatu rakyat, di suatu tempat yang di peta pun nyaris tak terlihat. Salah satu pengalaman singkat yang mungkin paling bermanfaat”
Tentang Tugas Sebagai Patriot Energi di Desa Sunggak, Kepulauan Anambas (ditulis pada April 2016)
Malam ini, aku merasa udara di rumahku tak sepanas biasanya. Angin bertiup tidak sekencang biasanya. Dan lalu lintas juga tidak sesepi biasanya. Aku masih melamun, ditemani secangkir teh yang juga tidak semanis biasanya. Ya, saat ini aku benar- benar secara sengaja menyadari aku berada di rumahku, rumah orang tua kandung aku. Sesuatu yang dulu biasa kini pun menjadi tidak biasa.
Ternyata 5 bulan berada di desa itu sudah cukup untuk mempengaruhi kebiasaan yang sudah dibentuk selama bertahun- tahun di rumah ini. Desa itu telah berhasil membiasakan aku untuk menahan rasa panas, menahan kuatnya angin, dan termasuk meminum segala minuman yang menurutku kebanyakan gulanya.
Desa itu adalah Desa Sunggak, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Di desa itulah aku menemukan berbagai pembelajaran kehidupan yang tidak pernah aku dapatkan selama di bangku kuliah. Desa yang dengan begitu sabarnya mendidik aku untuk tidak menjadi pemuda manja, untuk selalu kuat, bisa menemukan kebahagian di tengah segala keterbatas, dan mencari solusi ditengah segala permasalahan dan tekenan. Dan yang terpenting, desa yang membuat aku, pada detik ini ketika aku menulis tulisan ini, dapat lebih bersyukur dengan segala anugerah yang telah Tuhan berikan kepadaku, dan juga atas kesempatan yang telah Tuhan berikan agar aku bisa belajar dan berproses di desa tersebut. Pengalaman menakjubkan yang mungkin tidak akan aku dapatkan apabila ketika hari itu aku terlalu takut untuk mencobanya, dan mengundurkan diri sebelum mencoba
Semua bermula pada suatu surat elektronik
“melalui surat elektronik ini kami sampaikan bahwa anda LOLOS menjadi pendamping energy terbarukan”
Itulah potongan isi dari surat elektronik yang aku terima pada tanggal 7 September 2015. Potongan surat yang mungkin akan menjadi tanda dimulainya potongan hidup aku yang paling ekstrim. Ya paling ekstrim. Melalui surat itu, secara resmi Kementrian ESDM menawarkan aku untuk masuk kedalam tim “Patriot Energi”, dimana para pesertanya akan dikirim ke desa-desa terpencil dan daerah perbatasan, sendiri. Paling ekstrim karena sejak dulu memang aku bukanlah tipe anak “My Trip My Adventure” (bukan iklan), yang terus naik turun gunung setiap ada waktu luang. Satu gunung pun tak pernah aku daki. Kecuali gunung Tangkuban Perahu. Naik mobil.
Pikiranku saat itu terus bertanya, apa yang bisa dilakukan anak “kongkow di coffee shop kekinian” ini ketika harus berada di tengah hutan tanpa listrik, internet dan segala kenikmatan duniawi lainnya?
Sebelum aku mendaftar program tersebut, aku sebenarnya sedang ada di salah satu posisi terburuk dalam hidup aku. Pekerjaanku seolah membuat aku hanya menjadi robot dan terlalu banyak dosa yang harus aku perbuat untuk menyelasaikan tersebut. Karakter terjun bebas dengan munculnya berbagai kebiasaan buruk baru. Hidup pun seolah tanpa motivasi dan tujuan.
“The only way to forge steel is to temper it with fire.”- Malcolm Merlyn
Itulah alasan terkuat mengapa aku harus ikut program ini. Aku butuh kawah candradimuka untuk membentuk kembali pola hidup yang sedikit lebih ideal. Bagi pembaca yang menonton Serial “Arrow”, ya aku butuh ditempatkan ke pulau Lian Yu, namun tidak perlu sampai 5 tahun seperti Oliver Queen di film tersebut.
Melalui lobi yang cukup alot dengan keluarga, akhirnya aku mendapatkan restu dari keluarga. Dalam penugasan sejenis ini untuk kali pertama, restu keluarga sangat lah penting. Restu ini sekaligus menjadi pertanda ikhlas bagi kedua belah pihak dengan segala apa yang akan terjadi selama penugasan tersebut.
Minggu, 20 September 2015, menjadi hari pertama dalam perjalanan panjang ini. Bertempat di Pusdiklat EBTKE Ciracas, selama 3 hari pertama hidupku masih berjalan dengan normal. Aku masih berada di ruangan ber-AC, makanan melimpah, dan tidur di kasur yang empuk.
Namun setelah itu, barulah aku menyadari “ujian” sebenanrnya belum dimulai. Tahap awal ujian dimulai dari salah satu desa terpelosok di Subang, yaitu Buni Asih. Desa ini menjadi desa pertama yang membuka mataku bahwa di provinsi yang cukup maju, atau disebalah kota yang begitu modern, masih ada desa yang begitu tertinggal, dimana listrik bahkan baru saja hadir setelah adanya inisiasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro beberapa tahun yang lalu. Beberapa ujian harus aku hadapi disini. Ketika di pagi hari aku mencoba mandi air yang menurutku setara dengan air es, dan di kamar mandi yang jauh dari kata layak. Disini aku mulai sadar dan membuka mata, bahwa 5 bulan kedepan aku akan menghadapi kehidupan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Be ready!
Pelatihan selanjutnya adalah yang menurutku bagian terberat. “Survival Series”, begitulah aku menyebutnya. Bertempat di salah satu perbukitan di daerah Ciwidey, menggendong carrier bag 13 kg, kami berjalan cukup jauh dari satu tempat ke tempat lainnya. Semua persediaan perbekalan secara serentak telah diserahkan kepada panitia, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tenaga selama perjalanan ini, aku bersama teman- teman hanya bisa “belanja” di alam sekitar. Daun- daunan, jantung pisang, dan ubi sudah menjadi menu harian kami. Protein? Kami hanya mendapatkan satu kali kesempatan memakan protein, yaitu ketika salah seorang dari kami berhasil menangkap ular. Ya, aku dengan sangat terpaksa harus memakan sepotong bagian dari ular tersebut.
Satu hal yang menarik adalah ketika teman aku dari regu lain berhasil mendapatkan daun selada. Hanya bermodalkan daun tersebut, garam dan daging ular, mereka sudah dapat mengklaim mereka berhasil membuat sup daging. Dan ketika aku mencobanya, memang benar, paling tidak kuahnya memang cukup menyerupai kuah sup. Cukup berkelas ketika menyadari kita sedang berada di tengah hutan tanpa persediaan makanan. Saat itu aku berpikir, betapa mudahnya kehidupan di kota ketika itu. Hanya dengan beberapa lembar uang, berjalan sedikit, kamu sudah bisa menemukan warung atau convenient store dan mendapatkan minuman paling segar yang kita idamkan. Disini, untuk minum segar, aku harus mencari dulu sungai, ambil airnya, cari kayu bakar, lalu bikin dulu apinya, rebus, dan barulah kamu bisa mendapatkan minuman yang cukup layak. Walaupun dengan aroma asap kayu bakar.
Tidak berbeda jauh dengan makanan, untuk tempat tinggal pun kami harus belanja bahan bangunan dan membangunnya sore itu juga. Konsep bangunan kami eco-minimalist, dengan daun pisang sebagai atapnya, ranting dari berbagai jenis tanaman sebagai tiang penyangganya, dan rumput sebagai lantainya. Terpikir olehku, 2 minggu yang lalu, aku masih tidur di rumah kesayangan aku, makan di salah satu mall ternama di Jakarta. Dan saat ini, aku tidur di tengah hutan, setelah hanya makan dedauanan dan daging ular di siang harinya. Itulah roda kehidupan, dan kita harus siap berputar 180 derajat, kapan pun dan dimana pun.
Menuju Kawah Candradimuka
Pagi itu, pukul 07.20, matahari daerah Letung, Kepulauan Anambas, sudah cukup terik. Aku sudah menggendong tas carrier merah kebanggaan di punggungku, dan tas ransel di bagian depan. Tangan kananku menjinjing kantong ukuran sedang yang berisi beberapa perlengkapan yang tidak bisa masuk tas, dan tangan kiriku memegang life jacket. Aku berjalan ke rumah Pak Kades tempat penempatan aku setelah kemarinnya berdiskusi terkait keberangkatanku ke desa. Sesampainya di rumah Kades, ia terlihat terkejut, dan berkata, “Bonyok (banyak) sekali barangnya, takut tak cukup, Indra nanti tak kuat nahan bebannya”. Aku hanya terdiam, hanya mampu mengiyakan saja, karena memang tidak ada opsi lain. “Jalan ke dermaga Kusik sempit, jauh, naik turun, dan terkadang licin”. Sekali lagi, aku hanya terdiam, menyiapkan mental dan pasrah kepada yang diatas.
Pukul 07.45, aku dibonceng Pak Kades memulai perjalanan. Tas carrier aku gendong di punggung, dengan kedua tangan aku memegang kantong dan safety vest sambil berusaha sedikit memegang pegangan yang ada di bagian belakang kursi motor. Tidak lebih dari 15 menit, dengan jalan naik turun, beban di punggung yang cukup berat sudah cukup membuat otot perutku terasa lebih lelah daripada sit up 150 kali. Aku meminta istirahat kepada Pak Kades untuk sedikit merilekskan otot perut dan punggungku selama sekitar 5 menit. Aku mencoba mencari solosi lain. Namun, tidak ada. Memang itulah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan saat itu, dan menyiapkan otot perutku untuk menahan beban tubuh plus tas carrier aku tidak terjerembab ke belakang. Sekali lagi aku sadar bahwa aku sudah berada di kehidupan yang baru. Bukan di Jakarta, dimana kamu bisa langsung naik angkot atau taksi.
Setelah melalui 1 jam yang cukup menyiksa perut, menantang fisik, dan menguji mental, aku akhirnya sampai di dermaga Kusik. Aku hanya butuh menyebrang laut sekitar 20 menit lagi untuk sampai ke desa Sunggak. Namun, saat itu hanya ada pompong (perahu kayu tradisional) yang sangat kecil. Sekali lagi, tidak ada pilihan lain. Aku dan Kades terpaksa dengan barang bawaan yang cukup banyak menyewa pompong kecil tersebut yang kurang lebih hanya bisa memuat maksimal 4 orang termasuk pengemudi. Sekali lagi mental aku diuji disini. Dimulai dari menurunkan barang- barang ke pompong dari dermaga, selama di pompong, dan ketika berlabuh di Desa Sunggak, kemudian menaikan barang- barang. Aku akui, bagi pemula seperti aku, sangat dibutuhkan fisik dan mental yang kuat.
Aku akhirnya sampai di Desa Sunggak, desa yang diawal kedatanganku penuh dengan tatapan curiga, penuh kebingungan, penasaran, namun masih cukup ramah. Desa aku aku harapkan bisa menjadi kawah candradimuka aku selama 5 bulan mendatang.
Justru Mereka Yang Mendampingi Aku
Patriot energi. Itulah nama tim kami. Sangat berat beban nama yang kami tanggung menurutku. Seperti yang telah tertera pada namanya, tim ini bertugas secara umum untuk membantu mendekatkan masyarakat pada energi, dalam hal ini terutama energi listrik. Mendekatkan disini bukan hanya sekedar membantu masyarakat mendapatkan akses listrik, tapi juga mendampinginya agar listrik tersebut dapat digunakan secara bijak untuk mendapatkan kebermafaatan yang sebesar-besarnya, baik untuk masing- masing rumah, maupun untuk kehidupan masyarakat desa tersebut secara umum. Ya, mendampingi, atau sebagai fasilitator warga desa. Itulah kata kunci dari tugas aku.
Namun, selama 5 bulan berada di desa, aku merasa merekalah yang mendampingi aku, mengajari aku berbagai ilmu kehidupan yang tidak pernah aku temui di bangku kuliah, dan mendidik aku untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, sabar, dan tidak pernah menyerah pada keadaan.
Seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya, tinggal di daerah terpencil dengan segala keterbatasan akses transportasi, komunikasi, hingga fasilitas atau kebutuhan hidup tidak pernah terbayangkan ada dalam rancangan biografi hidup aku apabila aku merancangnya satu tahun sebelumnya. Dan kini, segala yang aku hindari dulu, menjadi kenyataan disini, di desa ini. Aku tidak mungkin menyerah, atau menangis dan berdiam diri di kamar. Aku harus menghadapi ini semua selama 5 bulan, dan melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan.
Aku rasa aku tidak perlu menceritakan secara mendetail apa yang aku kerjakan di desa. Keseharian aku tidak jauh- jauh dari pergi ke kantor desa atau ke laut untuk memancing di pagi hari, mengajar pelajaran tambahan untuk anak- anak di siang hari, bermain bola bersama warga di lapangan pasir penuh pohon kelapa di sore hari, menonton sinetron “Anak Jalanan” bersama warga sambil makan malam, dan dilanjutkan mengobrol santai dengan pemuda, terkadang di dermaga, terkadang di markas karang taruna pada malam hari. Itulah sebagian besar rutinitas aku selama di desa. Secara umum memang terdengar biasa, bahkan menjenuhkan. Namun dalam keseharian itulah aku merasa benar- benar sedang berproses di kawah candradimuka.
Di pagi hari, dengan pergi ke kantor desa, aku mulai menyadari bahwa ada kesalahan arah pembangunan yang menyebabkan timbulnya paradigma negatif di desa. Kebijakan pemerintah selama ini menurut saya terlalu menempatkan desa hanya sebagai “obyek pembangunan”, yang pada akhirnya membuat mereka menjadi “manja”, kurang berdaya, dan hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah. Padahal dengan potensi yang melimpah, dan kebijakan yang tepat dan sinergis antara desa dan pemerintah daerah maupun pusat, aku yakin pembangunan justru bisa berawal dari desa. Desa lah yang menjadi subyek pembangunan. Dan pembangunan yang berawal dari desa lah yang aku percaya akan akan membentuk desa yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Dengan datang ke sekolah, atau membantu mereka mengerjakan PR di rumah, aku sadar bahwa kualitas guru sangat menentukan kualitas anak didiknya. Guru memiliki PR yang cukup berat, ketika Ia harus memotivasi anak didiknya disaat banyak orang tua mereka masih mengganggap tidak perlu sekolah tinggi- tinggi untuk bisa menangkap banyak ikan di laut dan menghitung rupiah hasil tangkapan hari ini. Dan ketika melihat mereka setiap hari, di pagi dan siang hari harus berangkat dan pulang sekolah menyebrangi lautan, aku sadar betapa patut bersyukurnya aku dan semua anak yang bersekolah di kota. Disaat banyak diantara kita di kota yang malas bersekolah, atau bolos hanya untuk bisa bermain di warnet, di tengah Laut Tiongkok Selatan, ada sekumpulan anak yang dengan begitu semangatnya mengarungi laut setiap hari, demi mendapatkan pendidikan.

Dengan bermain bola bersama mereka, aku belajar bahwa tidak perlu menunggu sesuatu “ada” dan “sempurna” untuk bermain dan berbahagia bersama. Walaupun kakiku sempat cidera karena tersandung akar pohon kelapa, darah sempat mengucur dari telapak kakiku ketika berusaha mengambil bola di semak-semak, namun aku sangat bahagia.
Mereka bersama alam di desa ini tanpa pernah bosan mengajari aku tentang kebahagian di level yang jauh lebih tinggi. Kebahagiaan yang sederhana, namun begitu berarti. Kebahagiaan yang tidak pernah dibatasi oleh berbagai keterbatasan, yang sebenarnya batasan semu yang kita buat sendiri.
Aku sadar, selama ini, aku terlalu banyak membuat persyaratan untuk dapat bahagia. Berada di kafe kekinian, browsing dengan iphone terbaru, ataupun nonton episode Big Bang Theory dan Arrow, mungkin itulah yang seringkali dijadikan parameter kebahagian anak muda kekinian di kota, atau kelas menengah sok eksis, termasuk aku.
Di desa inilah aku benar- benar diajarkan kembali tentang definisi kebahagian yang abadi. Termasuk kebagian ketika bersama orang-orang terdekat. Berada di tempat terpencil, dengan tingkat resiko yang relatif lebih tinggi, akses komunikasi terbatas, membuat aku lebih menghargai setiap waktu ketika aku bisa terkoneksi dengan orang-orang terdekat. Hal itu sejalan dengan salah satu penelitian tentang kebahagiaan yang dilakukan oleh Harvard University selama 75 tahun, dimana faktor kebahagiaan utama adalah bukan tergantung dari uang, fasilitas, ataupun kekuasaan, melainkan sangat bergantung dari kualitas hubungan kita dengan orang lain.
Tentang pekerjaan, selain mengerjakan berbagai hal terkait PLTS, salah satu hal yang saya coba lakukan adalah membentuk koperasi nelayan di desa ini. Hingga 2 bulan pertama di desa ini, aku sama sekali belum tercetus ide inisiasi koperasi ini. Apa yang aku ketahui ataupun dari diskusi awal menyimpukan bahwa belum perlu adanya inisiasi gerakan untuk para nelayan disini. Mereka sudah berkelompok, tangkapan cukup banyak, dan toke (tengkulak) cukup kooperatif, bahkan sangat membantu untuk menjualkan hasil tangkapan ikan para nelayan. Namun seiring berjalannya waktu, semakin dekatnya saya dengan mereka, semakin seringnya saya ikut mancing bersama mereka, barulah saya mulai menyadari adanya kegelisahan dari mereka yang selama ini masih cukup terpendam. Adanya sistem yang salah yang membuat mereka tidak bisa berkembang, yang membuat utang puluhan juta mereka tidak terlunasi walaupun sudah bertahun- tahun. Dari situ lah aku melakukan diskusi intensif hingga mereka sendiri yang sepakat untuk mencetus adanya koperasi nelayan.

Pengalaman tersebut membantu menyadarkan aku bahwa selama ini aku bias, ketika dengan berapi-api berdiskusi masalah rakyat bersama para pemuda lainnya. Banyak detail dan sisi lain dari kehidupan masyarakat yang selama ini aku tak terlihat ketika aku mendiskusikannya di Starbucks, dengan fasilitas lengkap dan nikmat. Percayalah, itu tidak akan sepenuhnya efektif dan komprehensif. Dan sangat banyak gagasan- gagasan yang mungkin terlewat apabila kita mendiskusikannya hanya melalui rapat, dengan menggunakan dengan sepatu pejabat, bukan sepatu rakyat.
Saat ini, yang aku ingin sarankan kepada para pejabat ataupun pemuda yang mengaku peduli dengan kehidupan rakyat, terutama yang mereka anggap masyarakat ekonomi menengah kebawah, cobalah menganalisis suatu masalah dengan berada diantara mereka, menggunakan sepatu mereka, sepatu rakyat.
Seperti kata Sherina di lagunya, “lihat segalanya, lebih dekat, dan kau akan mengerti”.
Sekali lagi, aku ingin menyarankan, tidak sepenuhnya efektif apabila terus-menerus rapat mendiskusikan nasib mereka apabila masih hanya dilakukan di ruang rapat hotel bintang 5. Terjunlah bersama mereka, hiduplah ditengah mereka selama beberapa waktu, hingga kamu benar- benar mengenal mereka.
Dengan pendampingan dari mereka, aku yakin mereka mau dan mampu membantu membuka kacamata kuda yang selama ini ada di mata kita, yang menutupi sebagian pandangan kita terhadap kehidupan masyarakat. Lalu bergerak bersama mereka untuk mensolusikan masalah yang ada. Barulah mungkin kita bisa membawa isu tersebut dan mendiskusikannya kembali di ruangan ber-AC di Jakarta.
Berpamitan dengan lambaian tangan dan senyuman
“Every warrior must learn the simple truth, that pain is inevitable, but suffering is optional” — Malcolm Merlyn
Sekali lagi dari Malcolm Merlyn. Itulah quotes terbaik dan paling relevan yang aku pegang selama tugas ini, mulai dari pelatihan hingga dalam kesulitan sehari- hari yang aku temui selama penempatan. Sekali lagi, sebelumnya aku bukanlah seorang adventurer. Ini pengalaman pertamaku pergi jauh ke daerah terpencil yang bahkan di google pun saat itu kamu tidak menemukan informasi apapun mengenai daerah itu.
Aku pun jujur sebenarnya diawal aku sudah cukup pasrah dengan apapun yang terjadi padaku. Aku juga harus jujur bahwa sebulan pertama, aku masih cukup merasa tertekan, asing, dan berat dalam menjalani hidup seperti ini. Yang aku tahu hanyalah, just do it. Semua akan berakhir. Cukup berat memang hidup di kehidupan yang berbeda 180 derajat dengan kehidupan aku sebelumnya. Namun, aku masih percaya bahwa inilah yang akan mendidik aku untuk berada di comfort zone baru namun pada tingkat yang lebih tinggi, dan selalu ingatlah bahwa menderita itu sebuah pilihan. Aku yang secara penuh menentukan apakah aku ingin selama 5 bulan menderita dan tidak mendapatkan apa- apa, atau sebaliknya, 5 bulan ini menjadi saling satu pengalaman dan pembelajaran hidup terbesar dalam perjalanan hidup aku.
Saat ini, semua perjalanan itu telah selesai, berakhir dengan lambaian tangan tanda terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam dan senyuman syukur sepanjang jalan pulang. Ketika aku menulis akhir dari tulisan ini, dan masih sama, ditemani secangkir teh, aku memiliki beberapa kenikmatan baru.
Kenikmatan pertama adalah ketika mengenang masa-masa sulit pada awal masa penempatan, hidup dengan segala keterbatasan, jauh dari orang- orang terdekat, kemudian secara sadar menyadari bahwa saat ini masa sulit itu telah berakhir, dan aku bisa kembali dekat dengan orang- orang terdekat.
Kenikmatan kedua adalah ketika aku bersyukur aku merasa aku telah berhasil mengalahkan diri aku sendiri ketika itu. Mengalahkankan segala rasa takut dan khawatir untuk keluar dari comfort zone, dan pergi untuk saling belajar dan membantu bersama rakyat di daerah yang sebelumnya tidak pernah terbayang olehku.
Kenikmatan terakhir adalah ketika aku menyadari di seberang lautan disana, aku memiliki keluarga baru, yang membuat aku berjanji suatu saat aku akan berkunjung lagi kesana. Namun tentu kali ini tanpa perlu sedikit pun merasa asing diawal kedatangan.
Yang paling akhir dan penting, sekali lagi aku berterima kasih kepada Desa Sunggak karena telah menyadarkan untuk selalu memakai sepatu rakyat, dan turun bersama rakyat apabila ingin berbicara tentang nasib rakyat. Masa berbicara tentang rakyat, tapi selalu di Starbak?