CATATAN SEORANG PATRIOT ENERGI

Mita Apriani

Aku bertugas sebagai Patriot Energi seorang diri selama lima bulan di Desa Kuala Baru, Kecamatan Seberang Kota, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, sejak Oktober 2015 sampai Maret 2016. Untuk sampai ke Desa Kuala Baru, saya harus naik pong-pong, perahu bermesin, menyeberangi muara sungai dari Pelabuhan Ampera Kuala Tungkal ke Dermaga Parit Sapat, kemudian dilanjutkan dengan naik ojek sejauh ± 4 km jika tidak hujan.

Sebelumnya aku selalu takut naik perahu atau sejenisnya. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang membuatku dengan terpaksa harus terjun bebas ke sungai. Tetapi selama bertugas sebagai Patriot Energi aku harus membiasakan diri menikmati naik pong-pong dari kabupaten menuju desa karena jika ingin berbelanja ke kabupaten atau ada urusan di kabupaten harus menggunakan transportasi ini. Sungai yang dilewati memang tidak berarus deras seperti Sungai Mahakam dan sungai- sungai di Kalimantan.

Sungai di sini pasang surut, tapi ada hal yang menarik di sungai ini, yaitu ombak karena merupakan muara sungai yang tak jauh dari laut. Tinggi ombaknya memang tidak sampai semester, hanya setinggi pong-pong atau kadang lebih tinggi sedikit dari pong- pongnya. Meskipun demikian, ombaknya selalu sukses membuat wajah dan ranselku basah. Aku selalu berteriak ketakutan jika pong-pong sekecil itu dihantam ombak, takut pong-pongnya terbalik. Saking seringnya berteriak, penumpang lain menatapku dengan tatapan aneh yang membuatku ingin segera menghilang dari pong-pong itu.

Setelah dihantam ombak, perjalanan selanjutnya ditempuh dengan jalur darat. Kalau hari tidak hujan, bisa naik ojek menuju desa. Akan tetapi, jika sebaliknya, tidak akan ada satupun tukang ojek yang mau mengantar karena jalan berlumpur dan sangat licin. Sepeda motor tidak bisa digunakan karena rodanya tertutup lumpur sehingga perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Hal itulah yang aku alami saat pertama kali masuk desa. Aku menunggu tiga jam lamanya, tetapi tidak ada satupun tukang ojek yang mau mengantar.

Akupun memutuskan berjalan kaki dengan barang bawaan satu carrier tujuh puluh lima liter di punggung, ransel di bagian depan, dan satu kantong yang aku pegang. Orang-orang di sekitar dermaga menatapku aneh. Berjalan kaki dari dermaga ke desa bukan hanya sekali aku alami, melainkan berkali-kali. Entah mengapa hampir setiap pulang dari kabupaten, saat mau masuk desa, selalu saja hujan. Alhasil berjalan kaki menjadi pilihan karena semua tukang ojek mendadak cuek. Apa kesalahanku Tuhan sampai aku selalu mengalami kejadian seperti ini? Apakah karena aku malas mandi sehingga Engkau menghukumku dengan cara menurunkan rahmat-Mu dalam bentuk hujan setiap kali aku ingin masuk desa?

Pertama kali tiba di desa, sejauh mata memandang yang terlihat adalah pohon kelapa, pohon pinang, pohon nipah, parit, rumah warga yang disangga banyak tiang dan kolam air. Menyoal kolam, air di kolam ini menjadi sumber air warga untuk berwudhu, mandi, mencuci, dan kakus. Padahal menurutku, kolam ini lebih terlihat lebih mirip kubangan. Air kolam tersebut rasanya asin, mungkin karena air di kolam ini merupakan air payau sesuai dengan kondisi desa yang terletak tidak jauh dari muara sungai yang menuju laut. Jika kita berwudhu di kolam itu, air wudhu kita yang jatuh masuk lagi ke kolam tersebut.

Untuk air minum, masyarakat bergantung pada air hujan yang ditampung di tempat-tempat penampungan sehingga jika musim kemarau warga terpaksa membeli air galon di kabupaten. Cukup miris dengan kondisi ini, di saat sebagian besar orang di kota boros memakai air, ada desa yang masyarakatnya menampung air hujan untuk dikonsumsi dan menggunakan air kolam yang lebih mirip air kubangan untuk beraktivitas. Ini baru satu desa, aku yakin masih banyak desa di negeri tercinta kita ini yang kondisinya seperti ini. Bertahun-tahun hidup dengan kondisi seperti itu. Aku pun merenung dan merasa sangat malu pada diriku sendiri yang sebelumnya juga boros memakai air bersih.

Hal yang kurang menyenangkan aku alami sebagai Patriot Energi juga selama berada di desa ini, yaitu ketika aku dibohongi oleh kontraktor dan aparat desa. Sejak awal aku masuk desa, mereka sudah membohongiku dengan mengatakan setiap rumah mendapat jatah energi sebesar 500 Wh. Mungkin aku terlalu polos di mata mereka sehingga mereka dengan begitu saja membohongiku. Akan tetapi, durian yang baunya wangi saja jika disembunyikan akan ketahuan, apalagi bangkai.

Akhirnya aku mengetahui dari curhatan salah satu Pak RT kalau ternyata ada rumah yang mendapat 600 Wh, 700 Wh, bahkan 1000 Wh. Saat itu rasanya aku ingin menggebrak meja, tapi aku menahan diri karena pasti tanganku akan sakit sekali. Kenapa seperti ini jadinya? Berarti telah terjadi ketidakadilan dalam pembagian jatah energi di desa ini. Kelebihan energi ini sangat berpengaruh pada kinerja PLTS yang hanya bisa menyala kurang lebih enam jam sehari semalam. Itupun lampu penerangan jalan tidak dinyalakan karena PLTS tidak sanggup jika lampu penerangan jalan dan aliran ke rumah-rumah penduduk dinyalakan secara bersamaan.

Pada dasarnya ketidakadilan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Akupun berusaha mendatangkan kembali kontraktor yang sudah kembali ke kantornya untuk merubah energi limiter. Berbicara soal kontraktor, aku hanya bertemu mereka selama seminggu di desa karena aku masuk desa di saat PLTS sudah hampir selesai.

Baca Juga: LILIN HARAPAN DESA TELUK BAKAUhttps://ibeka.or.id/lilin-harapan-teluk-bakau/

Tidak ada perjuangan yang sia sia. Akhirnya segala daya dan upaya yang dilakukan selama beberapa bulan untuk mendatangkan kontraktor ke desa berbuah manis. Merekapun mau masuk desa lagi. Ini semua tidak lepas dari bantuan Pak Andri dan Pak Dito, tim teknis untuk wilayah Jambi, yang sebelumnya menyarankan mengirim surat ke PPK fisik dan mengantarkan surat itu ke kantor kontraktor tersebut.

Kontraktor telah tiba di desa, tetapi tidak boleh terburu-buru untuk langsung menurunkan energi karena perlu adanya musyawarah masyarakat desa. Perlu untuk mendengarkan pendapat mereka. Itulah alasan kenapa Tuhan memberikan dua telinga dan satu mulut, itu artinya kita disuruh lebih banyak mendengar dibanding berbicara. Alhamdulillah, musyawarah desa bisa terlaksana. Sempat ada warga yang menolak untuk diturunkan energinya, tapi itu tidak jadi masalah, justru adanya perbedaan seperti ini yang patut disyukuri, kalau semuanya menurut saja, ya pengalaman yang didapatkan juga biasa-biasa saja.

Aku menjelaskan ke warga dengan memberikan pilihan karena memberikan pilihan itu jauh lebih indah dibanding dipilihkan. Pilihan yang aku tawarkan ke warga tersebut, yaitu mereka ingin energi diturunkan tetapi bisa menikmati PLTS bertahun-tahun atau energi tidak diturunkan tetapi kemungkinan hanya bisa menikmati PLTS kurang lebih dua tahun karena dengan kondisi PLTS yang seperti saat ini membuat baterai cepat rusak. Warga akhirnya memilih pilihan pertama. Merekapun sepakat energi yang awalnya 500 Wh diturunkan menjadi 400 Wh, jika masih kelebihan beban akan diturunkan menjadi 300 Wh. Akhirnya setiap rumah mendapat 300 Wh karena memang sejak awal arahan yang diberikan dari kementerian ESDM kalau jatah setiap rumah memang 300 Wh.

Namun tidak selamanya niat baik itu akan ditanggapi baik. Meskipun berniat untuk mewujudkan keadilan, tetap saja ada yang merasa kecewa. Hidup memang seperti itu kawan, kalau tidak ada yang kontra tidak seru. Coba aja menonton film Spiderman tanpa Dr. Octopus, Batman tanpa Joker, kalau semuanya menjadi anak baik-baik tidak bakal seru. Jadi, yang merasa kecewa di sini adalah salah satu Pak RT. Ia kecewa karena saat pembangunan PLTS dia sangat rajin dan ligat (gesit) membantu dengan berharap diberi imbalan energi yang berlebih.

Singkat cerita, setelah energi diturunkan, kinerja PLTS menjadi baik. PLTS menyala dua puluh empat jam saat ini kecuali saat hari hujan atau mendung PLTS sengaja dimatikan pada saat siang hari agar energi yang masuk dimanfaatkan malam hari saja karena saat malam hari lebih membutuhkan listrik untuk anak-anak belajar.

Berbicara soal kondisi Pak RT tersebut, akupun menyadari betapa pentingnya keikhlasan itu. Jika kita ingin membantu lakukan saja dengan tulus dan ikhlas tidak perlu berharap apa-apa kalau tidak ingin kecewa karena rasa kecewa itu hadir ketika kita pernah berharap. Akhir kata, “Serumit apapun hidup kita bahkan menyedihkan sekalipun, jangan lupa bahagia karena bahagia itu sederhana ketika kita bersyukur”.

Bagikan:

Baca Juga

Leave a Comment