LILIN HARAPAN DESA TELUK BAKAU

Neng Yulia Nengsih

Selasa adalah hari ketika saya kali pertama dipertemukan dengan seorang laki-laki yang berbadan kecil, berkulit hitam, dan bersuara lantang. Seorang laki-laki yang ceritanya berhasil
mencuri ketertarikanku untuk lebih mengetahui
sepak terjangnya di Desa Teluk Bakau.

Ini semua berawal dari sebuah cerita yang saya dengar dari kepala desa bahwa di desa sudah ada TK, SD, dan SMP yang didiri­kan beberapa tahun silam oleh salah satu guru sekolah dasar. Dari situlah saya berusaha mencari tahu bagaimana awal mula sekolah-sekolah tersebut didirikan oleh guru itu. Untuk sekadar informasi, berdasarkan sejarah desa, suku yang menempati desa ini adalah suku asli yang pada dasarnya tidak mau bergaul dan ikut perkem­bangan dalam segala hal, termasuk dalam pendidikan. Mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk berburu hewan di hutan.

Suku asli yang dimaksud adalah suku Kampar. Suku asli yang mendiami Desa Teluk Bakau, Kecamatan Kualakampar, Kabu­paten Pelalawan, Riau. Mereka biasa hidup dan berburu hewan apa saja yang ada di hutan. Mereka percaya bahwa semua hewan bisa dimakan tanpa terkecuali sehingga apapun yang dilihat maka itu adalah rezeki bagi mereka. Anak- anak tidak ada yang pergi ke sekolah. Mereka yang berusia di atas 10 tahun akan diajak orang tuanya ke hutan untuk membantu membawa hasil tangkapan berburu, sedangkan anak yang masih kecil akan menjaga adiknya di rumah dan bermain sembarang tanpa pantauan orang tua.

Ibarat lilin kecil yang kemudian menyebarkan cahaya di sekelilingnya, begitulah saya menggambarkan Pak Nasrin. Seorang pendatang yang berprofesi sebagai guru di sekolah dasar desa ini. Sebelum dia hadir di desa, susah sekali menemukan anak-anak yang mau datang ke sekolah karena hal-hal yang saya ceritakan sebelumnya. Begitupun dengan para orang tua, mereka lebih se­nang anaknya membantu pekerjaannya daripada harus berangkat ke sekolah. Bagi Pak Nasrin ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan demi mencerdaskan generasi bangsa.

Berpikir keras dan bekerja cerdas, itulah yang dilakukan bapak dua anak ini ketika melihat kondisi desa yang mempri­ha­tinkan. Perlahan tapi pasti dia mulai mengajak anak-anak yang ru­mahnya tidak jauh dari tempat tinggalnya untuk mau bersekolah. Mulanya memang banyak sekali hambatan yang membuatnya ini hampir putus asa. Tetapi, karena tekadnya yang kuat untuk me­ma­jukan pendidikan di desa ini, dia tidak pernah menyerah dan terus saja mencoba.

Pernah suatu pagi dia mengajak anak yang sedang mencuci baju di aliran parit di depan rumahnya untuk bersekolah. Saat itu, sang anak ditemani ibunya yang sedang memandikan anaknya yang lain. Senyuman menjadi senjata utama yang dia lontarkan ketika menatap wajah ibu anak tersebut, kemudian dia bertanya.

“Bikin apa kamu di situ, Nak?” tanyanya dengan suara yang tegas.

“Cuci baju, Pak Guru.” Jawab gadis kecil yang usianya ku­rang lebih 9 tahunan sambil mengulum bibir dan menundukkan kepalanya.

“Kamu mau sekolah seperti teman-teman yang lain tidak?” tanya Pak Nasrin dengan mata penuh harap. Anak tersebut meng­anggukkan kepala sambil menatap wajah ibu yang sorot matanya tajam dan sinis sejak kedatangan Pak Nasrin. Tiba-tiba, sang ibu beranjak dari tempat semula sambil menggendong anak yang sedang dimandikannya dan menarik tangan anak gadis itu. Tidak ada sedikitpun kata yang dikeluarkan dari mulut ibu yang hanya memakai kain sarung. Melihat reaksi tersebut Pak Nasrin langsung membalikan badan sambil melangkah melanjutkan perjalanan.

Reaksi orang tua yang notabene tidak mempedulikan pen­didikan anaknya memang beragam. Bahkan pernah sampai ada yang teriak-teriak dengan bahasa suku asli yang kira-kira artinya, jangan kamu ajak-ajak anak saya untuk datang ke sekolah, untuk apa sekolah, hanya buang-buang waktu dan tidak menghasilkan uang, sambil mengangkat golok di hadapan Pak Nasrin hanya ka­rena anaknya diajak untuk ikut sekolah. Hal – hal seperti ini justru membuat bapak ini menjadi lebih tertantang untuk terus berjuang demi mencerdaskan generasi bangsa di Desa Teluk Bakau.

Setiap pagi selama kurang lebih tiga tahun, pak guru ini berkeliling desa mengajak anak-anak dan meyakinkan orang tua agar anaknya diizinkan untuk sekolah. Walaupun masih saja men­dapat respons kurang baik, tekadnya tidak pernah goyah untuk terus mencoba dan mencoba, meski harus jalan kaki beberapa kilo­meter karena kondisi jalanan yang rusak sehingga tidak bisa meng­gunakan sepeda motor.

Di desa hanya ada sekolah dasar. Setelah anak-anak selesai mengenyam pendidikan SD, merekapun kebingungan mau melan­jutkan sekolah ke mana. SMP terdekat berada di kecamatan. Ja­raknya cukup jauh dan tidak ada kendaraan umum. Kini sudah banyak orang tua yang mulai sadar pendidikan, mereka mengata­kan percuma sekolah kalau hanya sampai SD. Berangkat dari masalah tersebutlah, Pak Nasrin yang saat itu sudah menjabat sebagai Kepala Sekolah di SDN 23 Teluk Bakau berinisiatif untuk mendirikan SMP SATAP yang lokasinya berdampingan dengan SD. Atas perjuangan sang penggiat pendidikan, Desa Teluk Bakau memiliki SMP SATAP pada tahun 2009.

Tak hanya berhenti di situ, melihat anak-anak yang mem­butuhkan pendidikan sedini mungkin, Pak Nasrin kemudian men­dirikan TK Bakau Indah pada tahun 2012. Jumlah siswa pertamanya adalah 12 orang, saat ini mereka sudah duduk di bangku SD kelas 4 dan sampai saat ini pembelajaran di TK masih berjalan. Perkem­bangan pendidikan dari tahun ke tahun semakin membaik wa­lau­pun dengan kualitas seadanya. Memang tenaga pengajar masih dibilang kurang sehingga banyak guru lulusan SMA mengajar di SMP. Secara aturan, jelas ini dilarang. Tetapi demi tujuan yang mu­lia, Pak Nasrin siap dengan konsekuensinya.

Menurut Pak Nasrin, pendidikan adalah unsur yang penting dalam kemajuan suatu bangsa. Bagaimana negara bisa maju jika sumber dayanya tidak berkualitas. Bermula dari sinilah dia memu­tuskan untuk bergelut dalam dunia pendidikan. Perjuangannya tak sia-sia. Kini, hampir 99% anak-anak usia sekolah di desa ini me­ngenyam pendidikan TK, SD dan SMP.

Keterbatasan sarana dan prasarana serta akses bukanlah menjadi hambatan baginya untuk terus berjuang mengajak ma­syarakat untuk bersekolah. Menurut dia, jika kita tidak sekolah maka kita akan terjajah selamanya. Orang-orang luar yang akan menguasai wilayah desa sehingga putra daerah hanya akan menjadi penonton dan pelaksana saja. Bahkan bisa saja hanya akan menjadi budak di tanah kelahiran sendiri. Itulah modal yang sering dia serukan kepada setiap orang tua yang dia temui.

Pak Nasrin yang lahir dari keluarga kurang mampu, yang harus bekerja ekstra keras untuk keberlangsungan hidupnya, sangat benci dengan kebodohan. Dia bermimpi semua anak di desa menda­pat­­kan haknya, yaitu pendidikan yang layak. Guru yang hobi melan­cong ini juga sangat peduli dengan kemajuan desa tempat dia me­ngab­di. Termasuk dengan keberadaan listrik di desa ini yang disam­but amat baik oleh guru yang sudah mengabdi sejak 17 tahun yang lalu ini. Mengenai listrik PLTS off grid yang dibangun di desa ini, dia memberikan kesan yang begitu mendalam. Sebelum saya me­ning­galkan desa ini dia berkata, “Tolong sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada menteri ESDM yang telah menyediakan listrik PLTS di Desa Teluk Bakau. Walaupun kapasitasnya tidak ter­lalu besar tetapi ini sudah sangat membantu masyarakat desa un­tuk hidup lebih baik. Anak-anak bisa belajar pada malam hari dan orang tua pun menjadi lebih perhatian kepada anak-anaknya. Semoga pemimpin lahir dari putra daerah ini.” Itulah kalimat ter­akhir yang saya dengar dari bibirnya.

Cerita ini adalah bagian dari buku 99 Kisah Jalan Sunyi Pemberdaya Negeri yang diambil dari cerita para Patriot Energi dalam kegiatan pengabdian di wilayah 4T.

Bagikan:

Tags

Baca Juga

Leave a Comment