HIDUP ITU BERBAGI

Renaning Wulan

Program Patriot Energi telah membawa saya ke daerah yang tidak pernah saya duga sebelumya. Menjadi fasilitator bagi Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, merupakan tahap hidup yang sama sekali baru. Selama lima bulan lamanya, saya bersama Mediane (selanjutnya dipanggil Ane) harus hidup bersama warga desa, mendampingi mereka sampai listrik menyala.

Desa Taileleu merupakan salah satu desa yang mendapat bantuan dari Kementerian ESDM berupa PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) karena di desa itu belum teraliri listrik. Pada tanggal 29 Oktober 2015, kami menginjakkan kaki pertama kali di tempat ini. Awal kedatangan kami di desa, kami disibukkan dengan kegi­atan mengenal orang-orang desa dan lingkungan sekitar. Kami pun mengunjungi beberapa tempat dan memperkenalkan diri sebagai pendatang baru di desa itu.

Pada suatu pagi yang cerah, saya dan Ane mengunjungi se­kolah dasar yang ada di desa. Ada dua sekolah dasar di Desa Taileleu, yaitu SDN 11 dan SDN 14 Pasakiat Taileleu. Perkenalan kami di SDN 14 diawali pertemuan dengan Pak Rober, sang kepala sekolah.

“Saya Naning dan ini Ane. Kami fasilitator PLTS untuk ma­sya­rakat desa ini, tapi bukan kami yang akan bangun PLTS, itu tugas kontraktor.” Jelas saya seraya tersenyum memperkenalkan diri. Kami bukan kontraktor merupakan informasi wajib yang selalu saya katakan ketika memperkenalkan diri karena tidak sedikit war­ga desa yang menganggap fasilitator sama saja dengan kontraktor. Seperti percakapan saya di sebuah kedai baju sebelumnya, kira-kira seperti ini.

“Siapa namanya, Bu?” tanya seorang bapak pemilik kedai sambil mengulurkan tangan.

“Naning, Pak,” jawabku sambil membalas uluran tangan ba­pak itu dengan gugup, “saya berada di sini sebagai fasilitator PLTS dari Kementrian ESDM, Pak.” Lanjutku kemudian.

“Wahhh…, yang benar saja. Masa ibu-ibu yang bangun PLTS? Emang kuat angkat-angkat? hahaha” Bapak itupun tertawa sambil menghabiskan rokok filter yang ada di tangan kanannya.

“Fasilitator beda sama kontraktor, Pak. Yang angkat-angkat pasir semen mah kontraktor. Kalau saya, angkat cucian saja dari­pada angkat semen. Ha… ha… ha.” Seloroh saya mencoba menim­pali pernyataan si bapak.

Kembali ke cerita di sekolah, tujuan saya dan Ane saat itu tidak hanya untuk sekadar berkenalan, tetapi kami ingin berko­ordinasi dengan pihak sekolah terkait keinginan kami untuk terlibat dalam kegiatan di sekolah. Tidak bisa dimungkiri bahwa kegiatan di sekolah merupakan salah satu kegiatan alternatif untuk lebih ber­kontribusi selama berada di penempatan.

Obrolan awal dengan kepala sekolah dan beberapa guru yang pada saat itu sedang berada di ruang guru tidak jauh dari rasa ingin tahu mereka terhadap kami. Begitupun sebaiknya, saya ingin lebih mengenal mereka sebagai keluarga baru saya selama bebe­rapa bulan ke depan.

“Dari mana asalnya, Bu?” tanya Pak Rober dengan senyum ramah yang mengembang yang semakin menegaskan kumis rapi beliau.

“Saya dari Cimahi atau biasa disebut Bandung coret. Nah, kalau Naning dari Bekasi yang bisa dibilang Jakarta coret,” celetuk Ane dengan canda renyahnya.

“Jauh, ya, Pak. Saya juga enggak pernah nyangka bisa sam­pai Mentawai.” Sambung saya, mencoba membuat suasana cair.

Sambil menunjuk salah satu ibu guru yang duduk di kursi pojok dekat bendera merah putih yang ada di ruangan ini, Pak Rober berkata, “Ada orang yang lebih jauh dari Jakarta atau Ban­dung. Itu, Bu Tina. Dia dari Sumba dan bisa sampai Mentawai.”

Saya cukup terkesima dengan pernyataan Pak Rober. Tak dinyana, ternyata ada orang yang lebih jauh dari tanah Jawa yang bisa sampai di Mentawai. Saya pun jadi bertanya -tanya, kenapa seorang guru bernama lengkap Agustina Dengi Tora itu mengajar di Mentawai? Kenapa tidak di Sumba saja? Motivasi apa yang men­dorong Bu Tina untuk menjadi guru? Pertanyaan-pertanyaan se­per­ti itu yang akhirnya membuat aku dan Ane berbincang lebih dalam dengan sosok guru asal Sumba ini.

Ada keramahan dan pancaran semangat dari sorot mata Bu Tina saat saya dan Ane mendekatinya. Bu Tina ternyata memiliki semangat yang tinggi untuk membantu pendidikan di Indonesia. Dia bercerita betapa ia sangat ingin menjadi guru dan untuk men­capai cita-citanya itu ia harus melalui jalan yang tidak mudah. Dia berpikir bahwa pendidikan itu penting, tapi di sisi lain dia juga tahu bahwa mengejar pendidikan tidaklah mudah bagi dia yang tinggal di daerah. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk keluar dari kam­pung halaman dan berjuang mencari beasiswa, berharap dengan begitu ia bisa semakin mendekati cita-citanya. Cerita Bu Tina pun membuat saya berpikir, betapa beruntungnya saya yang hidup de­ngan kemudahan akses pendidikan.

Selama bercerita ada getar-getar dalam suara Bu Tina yang menggambarkan bahwa memang perjuangannya dalam mencapai pendidikan yang lebih tinggi agar cita- citanya tercapai tidak mu­dah, kegigihan beliau pun turut saya rasakan.

“Saya pernah dianggap bodoh untuk memilih jalan ini. Jalan yang mengharuskan saya mengajar di daerah terpencil se­perti Mentawai ini,” ceritanya sambil menyunggingkan senyumnya yang khas.

Bu Tina yakin bahwa hidup itu sesungguhnya tentang ba­gaimana kita memberi dan bermanfaat bagi orang lain. Di mana­pun kita berada, bagaimanapun keadaan kita, selama kita masih bisa memberikan apa yang bisa kita berikan, maka lakukanlah. Itu juga motivasi Bu Tina untuk menjadi guru. Bu Tina juga berkata bahwa menjadi suatu kebanggaan tersendiri untuknya ketika mu­rid-muridnya bisa lebih hebat dari dirinya.

“Saya senang kalau suatu saat nanti ada murid saya yang mungkin jadi kepala desa atau dokter, lalu bilang saya ingat ibu waktu dulu jewer kuping saya.” Lanjutnya dengan logat timur yang masih terdengar kental. Bu Tina juga sangat yakin ketika menje­laskan ke masyarakat desa bahwa pendidikan itu sangat penting, bahkan harus dilakukan sejak dini. Sejak dia berada di Desa Taile­leu, sekitar tahun 90-an, Bu Tina mulai mendirikan Taman Kanak-Kanak pertama di desa, yaitu TK Philadelpia.

Seperti itulah Bu Tina, memberikan pelajaran hidup dan menginspirasi semangat berbagi. Satu catatan besar yang bisa di­petik dari kisah Bu Tina adalah tidak perlu menunggu mampu, tidak perlu merasa cukup pintar, tidak harus kaya dulu untuk bisa ber­bagi. Apa yang dimiliki, apa yang bisa diberikan, maka bagikanlah karena hidup sesungguhnya tentang berbagi dan memberi. Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain.

Cerita ini adalah bagian dari buku 99 Kisah Jalan Sunyi Pemberdaya Negeri yang diambil dari cerita para Patriot Energi dalam kegiatan pengabdian di wilayah 4T.

Bagikan:

Tags

Baca Juga

Leave a Comment