“Yan, di sini gempa besar, kalau misalnya terjadi apa-apa tolong selamatkan kami.”
Sepenggal kalimat di atas adalah kalimat yang pernah kusampaikan pada Yan Yan, salah satu penanggung jawab program Patriot Energi, ketika aku mengalami kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Aku bertugas sebagai fasilitator PLTS di Dusun Sarausau dan Makakadut, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Berada di daerah terpencil, terdalam, dan terluar di Pulau Siberut mungkin akan menjadi pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Apalagi ditambah dengan cerita menggetarkan yang akan kusimpan untuk
diceritakan ke anak-cucu kelak.
“Kak Bulaw, buka pintu. Menonton tv ita simakere.” Suara anak-anak kecil mulai memecah keheningan malam yang kurasakan sejak tadi.
Bulaw adalah nama panggilan kesayanganku dari warga Dusun Sarausau dan Makakadut. Artinya putih (warna) dalam bahasa Mentawai. Malam ini sebenarnya aku agak malas membuka pintu rumah untuk menonton sinetron bersama warga yang sudah menjadi rutinitas setiap harinya dari pukul 7 sampai 9 malam. Sudah hampir seminggu badan rasanya sangat lelah, panas, flu, dan batuk tak kunjung reda. Rasanya butuh waktu untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, melihat senyum anak-anak Mentawai ini setidaknya menjadi salah satu alasan untuk bisa tidur nyenyak. Aku sayang Kak Putty, kalimat manis ini selalu terlontar dari bibir-bibir kecil mereka setiap hari.
Bioskop malam kembali dibuka, bapak dan ibu asuh di tempat aku tinggal sudah memiliki listrik sendiri dari solar home system, bahkan sebelum PLTS masuk. Pukul 19.30 WIB, ketika sedang asyik menonton, aku yang sedang tidur-tiduran di atas tikar tiba-tiba saja merasakan adanya getaran, tetapi coba kucoba abaikan. Tak berapa lama kemudian, terasa getaran yang sangat kuat, sampai aku terpental ke samping. Tanpa berpikir panjang, aku segera bangun dan berteriak kepada warga yang masih menonton televisi.
“Semua evakuasi, ini gempa besar!” Sontak semua warga keluar dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Aku pun menuju pinggir laut yang jaraknya hanya 15 meter dari tempat saya tinggal. Ya Allah, hidup dan matiku, kuserahkan hanya kepada-Mu.
Baca Juga: DESA AUR KUNING MENJAGA PLTS
Sore hari ini sepi, hanya terlihat anak-anak yang sedang berlari-lari dan bermain kelereng di depan rumah. Aku menghabisan sore dengan menyapu teras rumah dan mengobrol dengan sahabatku di desa, Bidan Ika.
“Ika, aku kemarin mencari info di BMKG. Bulan Januari dan Februari kemarin, Mentawai, tepatnya di Muara Siberut, terjadi gempa meski skalanya kecil. Nah, setahuku biasanya gempa-gempa kecil akan memicu gempa besar. Aku ada feeling kayaknya bulan ini akan ada gempa besar.”
“Iya Putty, di koran Mentawai juga ada beritanya,” kata Ika. “Semoga aman-aman aja ya, amiiin.”
***
Sudah dua hari ini laut surut parah hingga ke tengah laut sehingga aku tidak bisa ikut memancing dengan warga, hanya berusaha menikmati suasana sore itu. Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan teman-temanku, ucapku dengan lirih. Panik? Kupikir tidak, aku masih bisa bersikap tenang. Mungkin lebih tepat kalau aku dianggap khawatir dengan gempa besar ini.
Tinggal di tempat yang sulit sinyal bahkan tak jarang tidak ada, membuat seakan-akan tidak bisa melakukan apa-apa. Namun sore itu, ketika aku berada di pinggir laut, handphone-ku berbunyi, ada sinyal! Seperti mukjizat mengingat kondisi sistem komunikasi Mentawai sudah dinyatakan lumpuh total. Sebuah pesan singkat masuk. Pesan singkat itu dari Kominfo BMKG yang memberitahu bahwa baru saja terjadi gempa berkekuatan 8,3 SR, berpusat di Barat Daya Kepulauan Mentawai dan berpotensi tsunami. Membaca pesan yang masuk membuat aku terdiam sejenak. Aku dan temanku di Desa Taileleu berada di wilayah Barat Daya Pulau Siberut. Desaku dilalui Teluk Katurei yang dulu pernah menjadi pusat gempa di Mentawai dan merupakan jalur patahan (secara geologi).
Tanpa berpikir panjang, aku berjalan ke arah tengah laut yang airnya surut untuk mencari sinyal dan berusaha menghubungi orang-orang ESDM di Jakarta. Aku mencoba menghubungi Khalilan, fasilitator untuk patriot Kepulauan Mentawai, namun ketika itu beliau sedang sibuk. Sampai akhirnya kucoba menelepon Yan Yan untuk memberitahukan kabarku sekarang masih aman. Saya kembali ke rumah untuk melihat berita di televisi tentang gempa yang terjadi di Mentawai. Beberapa warga sudah mengevakuasikan diri ke bukit, sisanya masih bertahan di rumah mereka masing masing. Aku merupakan bagian dari yang tidak mengevakuasi diri dan bertahan di rumah.
Aku bersama beberapa warga lalu bergerak menuju pinggir laut untuk melihat keadaan pascagempa, apakah gelombang tsunami akan benar-benar datang. Kemudian datang Bapak Pigi, operator PLTS kami.
Baca Juga: SEKAPUR SIRIH PROGRAM PATRIOT NEGERI
“Ibu Putty, di rumah PLTS terdengar bunyi mesin yang keras dan di tower penangkal petir ada lampu merah menyala.” Lapor Bapak Pigi.
“Oke, bapak tetap berjaga ya, aku di area sekitar rumah shelter. Kalau ada gempa susulan lagi, matikan semua mesin PLTS. Aku pikir ini masih aman, yang aku khawatirkan kalau ada tiang-tiang listrik yang jatuh dan kabel distribusi putus.” Jawabku.
Suasana terasa gaduh ketika melihat pemberitaan di televisi, ketika semua orang memberitakan hal ini dengan berlebihan dan penuh rasa panik. Beberapa warga meyakinkan saya namun juga memiliki rasa cemas.
“Ini gempa memang besar, namun tidak separah di tahun-tahun sebelumnya Put, rumah kami hancur. Tidak usah khawatir, tsunami tidak akan datang ke rumah kita karena rumah kita banyak pulau-pulau kecil yang menghalangi. Jadi, kita tidak akan kena tsunami, yang kami takutkan listrik kita ini, baru beberapa bulan kami nikmati, kalau gempa dan tsunami membuatnya rusak dan mati, desa kami gelap lagi.”
Aku tetap menunggu dalam doa di rumah bersama warga sampai akhirnya peringatan potensi tsunami resmi dicabut BMKG. Namun potensi terjadinya gempa susulan masih terus menghantui. Karena hari ini terlalu lelah, aku memutuskan untuk tetap di rumah saja ditemani bidan. Sampai akhirnya aku tidak bisa membendung rasa kantuk lagi. Ya Allah, apapun yang terjadi, kupasrahkan kepada-Mu. Akupun memejamkan mata. Pukul 11 malam, radio HT yang berada di rumah menyala, terdengar suara bapak camat yang mengumumkan bahwa terjadi gempa susulan dan seluruh warga Sarausau dan Makakadut diharapkan mengungsi. Namun sepertinya warga desaku tidak terlalu panik mendegar hal tersebut. Melihat gelagat warga seperti itu membuatku tenang dan memutuskan untuk kembali tidur.
Keesokan paginya mentari muncul membawa hangat, air laut mulai kembali pasang. Awal hari yang cukup menyenangkan sepertinya, meskipun tadi malam kami baru merasakan gempa besar. Beberapa kali terjadi gempa susulan namun dengan kekuatan kecil, aktivitas kembali seperti semula. Pagi itu aku kembali mencoba mencari sinyal di pinggir laut, menghubungi keluarga dan teman-teman untuk mengabarkan aku baik-baik saja.
Cerita ini adalah bagian dari buku 99 Kisah Jalan Sunyi Pemberdaya Negeri yang diambil dari cerita para Patriot Energi dalam kegiatan pengabdian di wilayah 4T.