DESA AUR KUNING MENJAGA PLTS

Hana Filya

Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, merupakan daerah penempatanku sebagai seorang Patriot Energi. Wow, Riau! Tidak terbayangkan sebelumnya aku akan ditempatkan di Riau, daerah yang selalu menjadi sumber kabut asap. Dalam hati aku pernah menyatakan kalau tidak ingin ditempatkan di Riau karena kabut asap itu. Tapi setelah aku berada di sana, aku mendapatkan hal yang menyenangkan dan membuat ketidakinginanku menjadi sebuah rasa syukur.

Aku masih ingat, bulan November 2015, PLTS di desaku mengalami masalah teknis untuk kedua kalinya. Kali ini, petir besar menyambar PLTS yang mengakibatkan 17 buah lampu PJU mati dan monitor panel distribusi tidak berfungsi. Dampak dari sambaran petir ini ternyata berujung pada baterai yang cepat habis, SCC, inverter, dan panel baterai yang sering panas. Pencatatan data harian pun harus diubah dengan melihat data di monitor utama supaya tetap bisa didokumentasikan. Hal ini membuat para operator PLTS, yaitu Pak Pori, Pak Rajab, Pak Sakir, dna Pak Rapai, bekerja lebih keras untuk menjaga PLTS. Setiap malam, mereka secara bergantian ke ru­mah pembangkit untuk mengecek kondisi baterai.

Lampu PJU yang rusak diturunkan oleh Pori dan Pak Rajab, listrik dimatikan di siang hari, dan bahkan pernah selama 7 hari dilakukan pemadaman listrik dari pukul 23.00-17.00 WIB keesokan harinya. Para operator harus mengecek secara bergantian sampai berkali-kali ke rumah pembangkit dalam satu malam. Namun, ke­ja­dian pemadaman listrik secara berkala ini membuat sebagian war­ga kesal. Alhasil, para operator dan aku harus terus memberikan penjelasan mengenai hal yang terjadi pada PLTS dan akhirnya hanya ini yang bisakami sampaikan, “Sabar ya, Bu.”

Selama berada di penempatan, aku merasakan kegelapan yang berkepanjangan, sekiranya selama 4-5 bulan aku di desa ini. Tidak hanya aku yang merasakannya, masyarakat Aur Kuning juga merasakannya, bahkan sudah lebih dahulu. Sebelum PLTS dibangun, pengorbanan mereka untuk mendapatkan listrik harus dibayar ma­hal. Bila menggunakan genset, rata-rata setiap keluarga menge­lu­ar­kan 20 ribu per hari untuk membeli solar hanya untuk menghi­dupkan listrik dari pukul 19.00-23.00 malam. Dengan adanya PLTS, biaya listrik turun drastis, yaitu 20 ribu untuk satu bulan dan lis­triknya bertahan lebih lama dibandingkan dengan penggunaan me­sin genset. Semua rumah pun bisa merasakan adanya listrik. Oleh karena itu, operator bekerja lebih keras dalam menjaga PLTS. Me­re­ka telah merasakan gelapnya desa ini dan tidak mau merasakan gelap kembali.

Setiap pagi aku renungkan kondisi yang aku rasakan ini. Gelap dan hanya dengan penerangan seadanya. Di sini aku belajar untuk bersabar dan menerima kondisi apa adanya, tidak boleh boros energi, dan sama-sama belajar tanpa malu dan takut salah. Listrik sangat mahal, namun inilah yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat untuk menopang kegiatan mereka sehari-hari. Walau hanya untuk penerangan dan pemakaian alat elektronik seadanya, PLTS sangat berharga untuk mereka.

Pak Rajab merupakan operator PLTS yang paling rajin mengecek kondisi ketersediaan baterai karena beliau yang paling menginginkan PLTS bertahan lama. Oleh karena itu, beliau bersedia bolak- balik malam hari untuk mengecek PLTS, apalagi saat hujan. Kadang aku mendampinginya untuk menuliskan data harian setiap jam 8 pagi. Kadang Pak Rajab bergantian dengan Pak Pori atau Pak Sakir. Teringat olehku saat di awal-awal perkenalan dengan Pak Ra­jab, ia tidak mau berbicara kepadaku karena sulit berbicara dalam bahasa Indonesia. Pak Sakir, Pak Pori, atau Pak Rapai yang selalu membantu menerjemahkan maksud pembicaraan Pak Rajab. Na­mun, karena Pak Rajab yang paling mudah dijumpai dibandingkan operator lainnya, aku jadi sering berkomunikasi dengannya. Aku ajarkan kembali cara membaca data PLTS dan beliau mengikutinya dengan baik. Pak Rajab seumur dengan ibuku, bagiku ia sungguh hebat karena masih bisa mengikuti penjelasan PLTS yang aku berikan.

Setiap pagi bahkan dini hari, Pak Rajab akan mematikan listrik PLTS demi menjaga baterai supaya tidak cepat soak karena alarm baterai lemah yang sudah menyala. Meskipun begitu, kegiat­annya mematikan listrik demi menjaga keberlangsungan PLTS ini justru membuat warga yang kurang paham menjadi kesal. Tak ja­rang Pak Rajab dimarahi oleh warga. Operator lain pun bernasib serupa. Sejak saat itu, Pak Rajab agak enggan untuk ke PLTS bila ti­dak ada aku atau operator lainnya karena tidak senang dengan perkataan warga yang menyakiti hati. Karena omongan warga yang tidak mengenakkan dan juga permasalahan teknis PLTS yang belum diperbaiki kontraktor, para operator ini sebeneranya sudah siap un­tuk meletakkan jabatan. Hal ini adalah dilema terbesar yang aku rasakan. Akupun berusaha untuk menguatkan mereka dan mence­gah mereka untuk abai terhadap PLTS.

Januari 2016, kerusakan pada panel baterai diperbaiki oleh kontraktor, namun listrik belum bisa dihidupkan 24 jam setelahnya. Alhamdulillah, kekuatan dan kepercayaan diri para operator kem­ba­li meningkat. Aku jadi semakin dekat dengan Pak Rajab. Ia selalu aku ajak untuk setiap aktivitasku di PLTS. Tidak hanya Pak Rajab, aku pun dekat dengan keluarganya. Istri, anak, dan cucu Pak Rajab sudah aku anggap seperti keluarga sendiri, begitupun sebaliknya. Akhirnya, listrik PLTS sudah bisa lebih lama beroperasi dan keda­maian PLTS sudah tercipta kembali.

Hari-hari terakhirku di desa, operator, khususnya Pak Rajab, sudah bisa menentukan listrik bisa bertahan sampai jam berapa dengan hanya mengetahui voltase saat malam kita periksa. Aku sangat lega dengan penguasaan operator hingga pada tahap ini.

“Pak, voltasenya 47,5. Kira-kira sampai pagi engga, nih?” tanyaku pada Pak Rajab.“Lai. Nanti apinya bisa sampai jam 6.” Jawabnya.

Cerita ini adalah bagian dari buku 99 Kisah Jalan Sunyi Pemberdaya Negeri yang diambil dari cerita para Patriot Energi dalam kegiatan pengabdian di wilayah 4T.

Bagikan:

Baca Juga

Leave a Comment