HARAPAN DARI SEI HARAPAN

Rabu, 28 Oktober 2015, adalah saat pertama kali saya menginjakkan kaki di Desa Sungai Harapan yang termasuk dalam wilayah Riau, Negeri Lancang Kuning. Desa Sungai Harapan terletak di Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Desa ini berjarak sekitar 30 km dari ibu kota kecamatan, Lipat Kain. Dari Lipat Kain menuju Desa Sungai Harapan ditempuh melalui jalur darat dengan kondisi jalan tanah dan bebatuan. Sepanjang perjalanan dari Lipat Kain menuju Desa Sungai Harapan, di kanan dan kiri jalan masih terbentang hutan, perkebunan karet, dan perkebunan sawit. Di beberapa titik juga terlihat adanya kegiatan pembukaan lahan. Perjalanan menuju lokasi saat itu masih diselimuti dengan kabut asap. Akhir Oktober tahun ini, Riau memang masih menjadi salah satu wilayah yang terkena dampak parah dari asap kebakaran hutan. Hal itu membuat kami, Patriot Energi penempatan Riau, tidak dapat langsung mendarat di Pekanbaru, tetapi harus menempuh perjalanan melalui Padang, Sumatera Barat.

Desa Sungai Harapan memiliki jalan poros desa sepanjang 5,3 km dengan kondisi jalan yang juga masih berupa tanah dan bebatuan. Jalan poros desa ini setelah diguyur hujan akan menjadi sangat rusak, mirip jalan off road dan akan sangat sulit dilewati oleh kendaraan.

Desa Sungai Harapan merupakan desa yang tergolong muda usianya karena pemekaran desa dilakukan pada tahun 2007 dan baru pada tahun 2010 menjadi desa definitif atau desa ber­status penuh. Sebelum menjadi desa, wilayah ini merupakan Du­sun Sei Tontang. Nama Sei Tontang diambil dari nama sungai yang mengalir di wilayah tersebut. Sei berarti sungai, kata itu berasal dari bahasa Ocu, bahasa yang digunakan oleh suku Ocu yang me­ru­pakan warga asli setempat. Sementara nama tontang merujuk pada pohon tontang atau terentang yang konon dulunya banyak dijumpai di pinggiran sungai tersebut. Ada cerita yang cukup me­na­rik di balik nama Sungai Harapan. Kenapa akhirnya dipilih nama tersebut menggantikan nama sebelumnya saat masih berupa dusun?

Menurut cerita dari warga setempat, ketika masih berna­ma Sei Tontang sering terjadi pertentangan di antara warganya. Sebagian warga ada yang beranggapan karena tontang dapat ber­arti pula pertentangan sehingga tidak heran jika orang yang tinggal di wilayah tersebut akan sering bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, saat dimekarkan menjadi desa maka dipilihlah nama Desa Sungai Harapan dengan harapan setelah menjadi desa, warga masyarakatnya dapat hidup lebih baik lagi dan tidak ada lagi pertentangan di antara warganya.

Saat saya tiba pertama kali di desa, listrik dari PLTS Terpu­sat masih dalam tahap uji coba dan baru dinyalakan untuk kebu­tuhan lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) karena saat itu masih ada beberapa rumah yang belum terpasang instalasi listrik ke rumahnya. Saat menjelang magrib, mulai terdengar suara mesin genset dari beberapa rumah yang digunakan untuk menyalakan listrik. Ketika itu, isttrik belum lagi masuk ke masjid sehingga be­lum ada warga yang melaksanakan kegiatan salat berjamaah atau­pun pengajian. Kegiatan di desa saat itu ramai di kedai-kedai yang me­miliki genset dan biasanya dimanfaatkan untuk tempat warga berkumpul, mengobrol, dan menonton TV bersama.

Suatu hari, saya bertemu dengan seorang kakek yang ber­nama Datuk Saniar. Beliau bercerita bahwa kegiatan di masjid pa­da saat ramadhan biasanya aktif digunakan untuk kegiatan salat tarawih dan tadarusan hingga menjelang waktu sahur. Untuk me­nyalakan sound system perlu biaya untuk membeli solar setidak­nya Rp 600.000 selama sebulan agar masjid dapat digunakan untuk beribadah.

Sabtu, 7 November 2015, akhirnya seluruh pengerjaan PLTS terpusat oleh kontraktor selesai dikerjakan dan listrik ke war­ga pun sudah mulai menyala selama 24 jam. Malam itu sudah tidak ada lagi suara dari mesin genset dari beberapa rumah warga dan seluruh rumah warga sekarang sudah terang oleh nyala lampu dari listrik PLTS. Seluruh warga di Desa Sungai Harapan akhirnya sudah dapat menggunakan listrik untuk kebutuhan mereka.

Masjid sudah dapat digunakan untuk kegiatan sholat far­dhu berjamaah tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk mem­beli solar untuk mesin genset. Lampu-lampu di Masjid pun sudah mulai dapat menyala setiap malamnya, memendarkan caha­ya dari atas bukit di tengah-tengah desa, suara adzan sudah dapat mengalun.

Setelah adanya listrik, setiap malam selepas magrib, anak-anak Desa Sungai Harapan dapat mengaji bersama. Siswa -siswi kelas VI beserta Bu Ita, wali kelas VI, mengadakan kelas tambahan setiap malam hari di rumah beliau untuk mempersiapkan mereka menghadapi UN karena sebelumnya kegiatan belajar-mengajar sem­pat terganggu oleh asap. Saya masih ingat bagaimana binar mata adik-adik tersebut saat membaca buku yang diperoleh dari program buku yang diadakan oleh tim Patriot Energi. Mereka mem­bacanya bersama-sama karena jumlah buku yang terbatas, tetapi itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk membacanya.

Semoga dengan adanya listrik di Desa Sungai Harapan, adik-adik ini dapat menjadi lebih bersemangat untuk menggapai cita -cita dan mewujudkan harapannya sehingga ke depannya Desa Sungai Harapan dapat menjadi lebih maju dan lebih baik lagi.

Cerita ini adalah bagian dari buku 99 Kisah Jalan Sunyi Pemberdaya Negeri yang diambil dari cerita para Patriot Energi dalam kegiatan pengabdian di wilayah 4T.

Bagikan:

Baca Juga

Leave a Comment