WONDER WOMAN DARI MENTAWAI

Mediane

Sesekali kulihat tanganku yang ujung-ujung jemarinya semakin kisut dikenai dingin. Kucoba gosokkan kedua telapak tanganku hingga terasa hangat. Dingin sekali sore itu, hujan tak hentinya turun dari pagi hari. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk menghangatkan diri di atas sebuah pompong, perahu kecil dari bilah kayu dengan lebar pas seukuran badan. Bila tak hati-hati atau terlalu banyak bergerak, pompong bisa terbalik. Akan menjadi sebuah pengalaman menarik memang, tapi aku lebih memilih tak mengalaminya. Kulihat kembali jam tanganku yang kacanya mulai berembun, sudah jam 16.15, artinya kurang lebih sudah satu jam perjalanan kami mengarungi sungai menuju Dusun Bolotok.

Dusun Bolotok merupakan salah satu dusun dari total tiga belas dusun yag ada di Desa Pasakiat Taileleu, Pulau Siberut, Ke­pulauan Mentawai. Letak dusun ini cukup istimewa karena berada di hulu yang terpisah dari dataran utama desa. Dusun Bolotok hanya dapat dicapai dengan pompong selama dua sampai tiga jam perjalanan. Dengan akses yang cukup menantang, tak banyak orang yang pernah menginjakkan kakinya di sana, bahkan orang Desa Paskiat Taileleu sekalipun. Sempat aku berbincang dengan seorang pemuda desa mengenai Bolotok.

«Kakak tahu ke mana perginya pesawat atau kapal yang hilang di segitiga bermuda? Ya, ke Bolotok itulah.» Guraunya. Kurasa Bolotok bukan tempat favorit untuk dikunjungi.

Kami beramai-ramai pergi ke sana. Rombongan ibu PKK dan kepala desa yang dibagi ke dalam tiga pompong. Misi kami saat itu adalah untuk membentuk dasawisma, yaitu organisasi yang beranggotakan ibu-ibu—seperti PKK—dengan cakupan lebih kecil.

“Tok tuk! Tok tuk!” Ujar ibu yang duduk di depanku dengan antusias.

“Ponia, Kak?” tanyaku dalam bahasa Mentawai. Tak lama

 ia mengeluarkan sesuatu dari sungai.

“Nene tok tuk!”

Dua buah durian hutan berhasil diambil. Pada bulan-bulan ter­tentu, durian hutan atau tok tuk merupakan camilan yang bisa didapatkan secara cuma-cuma di sepanjang aliran sungai ke Bolo­tok. Dengan sigap ia mengambil perkakas kebanggaan orang Men­tawai yang biasa digunakan dari mulai anak kecil hinga orang tua, yaitu tele atau parang.

«Kawat,» ia mempersilakanku untuk mencicipi buah durian yang sudah berhasil ia belah.

Pompong akhirnya berlabuh di sebuah tepian berlumpur. Ibu-ibu memperingatikuku agar berhati-hati karena jalannya sangat licin dan berlumpur. Kulepas kedua sendalku dan kunaiki dengan perlahan jembatan batang kayu. Tampak ibu-ibu dengan cekatan berhasil sampai tepian dengan cepat sementara aku susah payah menjaga keseimbangan.

Oke, seharusnya kini tinggal bagian mudah, ujarku dalam hati. Setelah berhasil ke tepian dan melihat hamparan jalan desa yang telah diaspal, tak lama terdengar suara bantingan keras. Ku­lihat temanku jatuh di jalanan.

“Liciiin….” Katanya sambil meringis. Kucoba langkahkan kaki dan berjalan. Benar saja beberapa kali aku hampir terpeleset. Bukan karena lumpur, melainkan lumut. Baru kali ini aku menjum­pai lumut di jalanan. Aku heran seberapa jarang jalan ini dilewati sampai bisa berlumut.

Hari sudah gelap ketika kami sampai di Dusun Bolotok. Tampak temaram cahaya lampu tempel dari beberapa rumah panggung sepanjang jalan. Kami sampai lebih lambat daripada perkiraan. Melawan arus sungai ketika hujan deras memang bukan perkara mudah. Kumpul dengan ibu-ibu setempat pun terpaksa diundur menjadi besok pagi.

Keesokan paginya aku dibangunkan dengan suara ayam dan

anjing-anjing yang bertengkar. Kulihat ibu-ibu sudah mulai sibuk mempersiapkan sarapan.

“Ponia ugalai kam, Kak?” Aku bertanya apa yang sedang mereka lakukan.

“Paneu sagai,” memasak sagu katanya. Sagu adalah ma­kan­an utama di daerah hulu Mentawai. Orang-orang setempat memanfaatkan kekayaan alam sekitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sagu, pisang, dan keladi adalah makanan pokok. Mere­ka pun berburu atau menjala untuk memperoleh daging rusa, mo­nyet, burung, ikan, dan udang. Tak mengherankan jadinya bila hanya ada satu warung di Bolotok, itupun sekadar menjual rokok, sabun, dan makanan ringan.

Setelah sagu dikeluarkan dari bambu, aku bantu memin­dahkannya ke tempat kami sarapan di teras rumah sebelah. Sem­burat cahaya matahari yang hangat dan wangi rerumputan basah langsung menyapaku seiring aku beranjak keluar. Semuanya nam­pak lebih jelas sekarang. Barisan rumah panggung yang didirikan dinas sosial, pohon kelapa yang tumbuh di antaranya, kotoran-ko­toran anjing di jalanan, serta induk ayam yang berjalan diikuti anak-anaknya.

Aktivitas penduduk sudah mulai menggeliat pagi itu. Tak jauh ada seorang ibu yang memandikan anaknya di pekarangan rumah. Cukup unik konsep desain rumah yang ada di sini, yaitu menempatkan kamar mandi sebelum ruang tamu. Anak- anak ber­seragam SD dengan warna merah yang memudar dan putih yang menguning berangkat sekolah. Hanya ada satu SD yang baru dires­mikan tahun lalu. Angkatan pertamanya baru menginjak kelas em­pat. Kebanyakan penduduk belum bisa membaca dan baru sedikit yang bisa berbahasa Indonesia. Selesai sarapan, kamipun bersiap-siap.

Balai sosial tempat seharusnya para saina atau ibu berkumpul mulai ramai. Satu demi satu perempuan berdatangan. Kebanyakan kulihat masih remaja tanggung berusia sekitar 13-18 tahun.

«Kak, ibu-ibunya masih belum datang, ya, Kak?» tanyaku kepada Ibu Ketua PKK.

«Ibu-ibunya, ya, mereka itu, Dek.» Jawab Ibu Ketua sambil tertawa.

Memang bukan fenomena aneh bila di desa-desa pelosok Indonesia usia pernikahan amatlah dini. Hal ini disinyalir menim­bulkan banyak permasalahan dalam rumah tangga terutama imbasnya pada anak-anak. Hal ini yang ditekan oleh pemerintah, tapi nampaknya upaya tersebut belum sanggup menyentuh daerah pelosok Mentawai ini. Kebanyakan ibu-ibu muda Bolotok datang degan menggendong bayinya. Selain merawat anak dan berkutat dengan urusan dapur, para ibu juga pergi ke ladang untuk meng­ambil kayu bakar, sagu, pisang, dan pucuk daun singkong.

Acarapun dimulai, salah satu ibu PKK memimpin doa yang dilanjutkan dengan paparan acara. Ibu ketua PKK kemudian mem­beri kata sambutan dalam bahasa Mentawai. Acara selanjut­nya dilakukan dengan pelatihan lagu mars PKK. Lagu yang terdiri atas 6 bait sarat pesan itu cukup panjang untuk dihafal. Isinya mulai dari menjaga kebersihan, pemenuhan gizi, mendidik anak, sampai mem­­­buat koperasi. Setelah fasih dinyanyikan, ibu ketua mulai menyampaikan materi utama. Sesekali aku mengerti apa yang diu­capkan dan mencoba menerka-nerka apa yang dibi­carakan. Aku terus berkeliling ruangan untuk mendoku­mentasikan acara. Sese­kali games kecil dilakukan di sela-sela paparan agar tidak menje­muk­kan. Acara dilanjutkan dengan pembagian kelompok kerja Da­sa­­wisma, pembagian snack, kemudian ditutup kembali dengan doa.

Sambil menunggu makan siang dan waktu pulang, aku dan Ibu Ketua PKK duduk-duduk di teras sambil berbincang-bincang. Dimulai dari matahari yang bersinar terik di tanah Mentawai hingga menyoal rasa penasaranku tentang yang ia sampaikan tadi.

“Macam-macam, Dek, ya tentang kebersihan, tentang sara­pan, tentang anak, tentang suami.” Jawab Ibu Ketua ketika aku sudah bertanya. Ia kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang keber­sihan. Salah satu poin penting tentang kebersihan adalah sanitasi karena hal itu sangat berkaitan dengan kesehatan. Tak jarang penyakit diare dan epidemi malaria memakan korban di tanah Mentawai. Dengan kesadaran akan kebersihan diharapkan bisa menekan risiko penyakit tersebut. Pengelolaan sampah yang benar, tata letak perabotan, pagar hidup, penanaman tanaman obat, dan bumbu dapur pun menjadi imbauan dalam acara tersebut. Selain kebersihan lingku­ng­an, menjaga kebersihan keluarga dan diri pun menjadi perhatian.

“Agak sulit memang, Dek, untuk buat mereka sadar keber­sihan diri sendiri,” ujar Ibu Ketua.

“Kenapa, Kak?” Tanyaku.

“Ya, di sini kan rumahnya sedikit, cuma lima puluh rumah, tapi tak jarang ada kasus selingkuh,” paparnya sembari memelankan suara.

“Ooh, begitu.” Aku mencoba menanggapi dengan santai.

“Iya, Dek. Tadi juga ada yang tanya, nanti kalau kami dandan can­tik-cantik disangka selingkuh bagaimana?” Setelah jeda sebentar, iapun meneruskan, “Kakak jawab, tak, Dek, taak. Dandan yang can­tik, mandi yang bersih, mencuci rambut, menyisir rambut, mengikat rambut, bukan untuk orang lain tapi untuk diri kita sendiri. Maeruk untuk kita, anak-anak kita, suami kita, bukan maeruk untuk orang lain.” Begitu lengkapnya. Maeruk berarti bagus dalam bahasa Mentawai. Sosok Ibu Ketua yang berpikiran maju dan terbuka ini memang sosok yang dihormati oleh masyarakat. Iapun meneruskan.

“Walaupun sudah capek ke ladang, memasak, mencuci, meng­asuh, tapi jangan lupa sama diri sendiri. Jadi saina memang harus super”.

“Seperti wonder woman, ya, Kak?” Timpalku.

«O, o, Dek. Ha… ha… ha,” entah Ibu Ketua tahu wonder wo­man atau tidak tetapi ia mengiyakan pernyataanku.

Di belahan dunia manapun menjadi ibu rumah tangga adalah tugas yang sangat berat. Aku tak setuju bila ibu rumah tangga mengatakan bahwa dirinya tak bekerja atau «hanya» diam di rumah. Melakukan pekerjaan rumah tangga dan mendidik anak adalah tugas mulia yang berat, terlebih lagi tidak ada sekolah yang dapat mengajari bagaimana melakukannya. Di sini, di salah satu tempat yang sangat jauh dari ingar bingar kota, tugas seorang ibu menjadi lebih kompleks.

Ketika kebanyakan remaja kota masih asyik jalan-jalan ke mal, para remaja di sini malah sudah menyandang status sebagai ibu. Merekapun harus menanggung risiko kehamilan di usia dini serta terjun langsung menangani masalah rumah tangga dan sosial. Dalam budaya Mentawai yang kental dengan dominasi kaum Adam, hal ini tidak serta merta berarti semua hal menjadi tang­gung jawab pria. Perempuan dituntut sama kuat dan cekatannya dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga, seperti ikut mela­dang dan mencari kayu bakar. Dengan tugas yang banyak dan be­ragam, tak menjadi hal yang berlebihan rasanya bila mereka dise­but wanita super.

Tak lama berselang, tampak seorang perempuan berusia tiga puluhan, bersepatu boot, dan menggendong oppa—sejenis keranjang anyaman rotan sebagai wadah kayu, bambu, atau hasil ladang— melewati teras.

“Anai leu ita!” Kusampaikan salam khas Mentawai.

“Anai leu ita!” Jawab perempuan itu dengan hangat. Ketika ia berjalan cukup jauh, aku segera membidik sosoknya dengan kameraku.

“Wonder woman, ya?” Tanya Ibu Ketua PKK.“O, o, Kak… Wonder Woman dari Mentawai!” Jawabku.

Cerita ini adalah bagian dari buku 99 Kisah Jalan Sunyi Pemberdaya Negeri yang diambil dari cerita para Patriot Energi dalam kegiatan pengabdian di wilayah 4T.

Bagikan:

Baca Juga

Leave a Comment