Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi bali
Orang-orang menggemukkan sapi bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani
Cuplikan puisi “Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram” karya Taufik Ismail tersebut dibacakan oleh empat orang massa HMRH sebagai pembuka pertemuan antara kami, massa HMRH, dengan Bapak Iskandar Budisaroso Kuntoadji, di aula rumahnya yang sejuk (18/4). Rumah yang berlokasi di Kampung Panaruban, Sagalaherang, Subang, Jawa Barat tersebut juga merupakan kantor dari Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA). Sang empunya rumah, Pak Is, merupakan penggiat pengembangan masyarakat sekaligus pemimpin IBEKA. Beliau menyambut hangat keluguan kami yang datang untuk menggali ilmu mengenai pengabdian masyarakat.
Pak Is mengawali pemaparannya dengan menunjukkan fakta bahwa masih ada lebih dari 60 juta anak-anak Indonesia belum bisa mengenyam pendidikan. Sempat beliau meminta untuk menghentikan pemaparannya dengan suara bergetar, lalu menyeka matanya yang basah. “Lihat, betapa manisnya anak-anak itu (menunjuk foto anak-anak pedesaan yang sedang tersenyum). “Mereka juga punya hak untuk mengenyam pendidikan, maka jangan rebut hak mereka dengan berdemo karena subsidi yang dicabut dari tangan kalian,” lanjutnya tegas.
Pak Is menjelaskan bahwa pengabdian dan pengembangan masyarakat oleh insan intelektual seperti mahasiswa merupakan suatu kewajiban. “Indonesia sudah terlalu banyak orang pintar, tapi tidak punya hati. Orang pintar tanpa hati hanyalah akan ‘memintari’ masyarakat. Kecenderungan orang pintar hanyalah akan mengikuti tapak industri asing besar yang menjajah sumber daya Indonesia. Kunci dari majunya Indonesia justru terletak pada pengembangan masyarakat lokal, dan hal ini membutuhkan orang-orang dengan hati yang besar,” paparnya.
Beliau juga mengkritisi kondisi mahasiswa dan perguruan tinggi yang cenderung mengejar keberterimaan mahasiswa di industri-industri asing yang menjanjikan gaji yang besar, ketimbang berusaha untuk membangun daerah dan mengembangkan masyarakat lokal. “Seorang manusia disebut kaya itu bukan karena hartanya,” ucapnya dengan tatapan tajam, “namun karena hasil karyanya yang berhasil membuat manusia lain semakin sedikit memerlukan, sehingga semakin banyak manusia yang mampu memberi kepada sesamanya.”
Konsep Pengabdian Masyarakat
Poin ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi ini merupakan hal yang selalu ditekankan di hampir setiap kaderisasi, baik kaderisasi tingkat universitas maupun kaderisasi tingkat jurusan, khususnya di ITB. Walaupun poin ini selalu ditekankan untuk dijadikan salah satu prioritas di himpunan-himpunan ITB, seringkali pada kenyataannya prioritas mahasiswa akan kegiatan pengabdian masyarakat hanya sekedar teori yang tercantum pada materi kaderisasi.
Hal ini disorot oleh Pak Is sebagai bencana kemahasiswaan, di mana seharusnya kemahasiswaan, yang tertuang dalam kegiatan pengabdian masyarakat, menjadi salah satu alat penting untuk membentuk nurani mahasiswa, sehingga mahasiswa merupakan insan akademis yang bukan hanya knowledge-based, tapi juga sensing-based, dengan empathy skill dan moral will yang lebih besar ketimbang business skill dan commercial will-nya. Kemahasiswaan juga seharusnya membentuk kader-kader yang kooperatif, sehingga menggeser konsep kompetitif yang selama ini dibangun dalam tatanan pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. “Pendidikan formal Indonesia, sadar-tidak sadar, sudah mengerdilkan perspektif kamu tentang dirimu sendiri,” ucap Pak Is, “kamu menjadi beranggapan kemampuan kamu terbatas, dan hal yang harus dikejar itu hanyalah IPK. Dirimu tidak sebatas itu. Manusia itu unik, dan dengan bekerja sama dengan manusia lain, manusia bisa merubah dunia.”
Pengabdian masyarakat, selain karena urgensi akan diri mahasiswa tersebut, tentunya merupakan kontribusi yang wajib dilakukan mahasiswa pada bangsa dan negaranya. Mengangkat fakta bahwa lebih dari 100 juta rakyat Indonesia belum merasakan listrik,“Kamu itu orang-orang yang sangat beruntung. Berapa kali dalam sebulan lampu rumahmu mati? Banyak orang-orang di luar sana, yang mendapatkan listrik selama 3 hari dalam sebulan saja sudah lebih dari cukup,” sahut Pak Is.
Beliau lalu menyebutkan ada tiga metodologi dalam kemitraan masyarakat, yaitu membuka potensi dan kemampuan masyarakat lokal, mendorong aspirasi dan cara pembangunan dari dan oleh masyarakat lokal, dan mengawal proses ‘pembangunan diri’ masyarakat lokal. Hal ini akan berjalan baik jika diiringi oleh prinsip-prinsip pengabdian masyarakat, yaitu dengan melihat keadaan masyarakat menggunakan kacamata masyarakat sendiri, memunculkan ide dari permasalahan lokal dan tidak memaksakan ide kita, melakukan pengembangan partisipatif bottom-up, dan melebarkan rentang pilihan masyarakat untuk memudahkan penawaran teknologi yang dibawa mahasiswa.
Teknologi yang Dikembangkan IBEKA
Kampung Panaruban, Sagalaherang, Subang, Jawa Barat, merupakan salah satu wilayah yang dibina oleh IBEKA. Dalam mengembangkan Kampung Panaruban dan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat, IBEKA menjadi inisiator pembangunan dan pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Bersama istrinya, Ibu Tri Mumpuni, pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini berhasil menjadi sumber suplai listrik untuk perumahan masyarakat, dan sampai sekarang maintenance-nya telah diambil alih oleh masyarakat setempat secara mandiri.
Selain pembangkit listrik tenaga mikrohidro, di Kampung Panaruban, IBEKA pun menginisiasi penyediaan energi yang dapat dikelola masyarakat secara mandiri berupa biogas. Biogas dihasilkan dari kotoran sapi yang terkumpul dalam reaktor anaerob, dengan keluaran gas yang disalurkan ke rumah warga dan sludge yang akan dipakai sebagai pupuk tanaman (kompos). Setiap instalasi biogas didirikan untuk setiap 5 rumah warga, dengan kotoran yang berasal dari 6 ekor sapi.
Antusiasme Massa HMRH
Bincang Pintar bersama Bapak Iskandar ternyata meningkatkan antusiasme massa HMRH terhadap kegiatan pengabdian masyarakat, seperti yang dikatakan Khanza Jamalina (BE’13), “Bapak Iskandar sangat menginspirasi. Beliau membuka pikiran saya mengenai hal-hal lain yang tidak saya pikirkan sebelumnya, yang tentunya membuat wawasan saya menjadi lebih luas. Dan menurut saya, akan lebih seru saat kita bertandang ke rumah warga setempat secara langsung, dan melihat signifikansi dampak IBEKA pada mereka.”
Sebagai ketua acara sekaligus Kepala Departemen Badan Keprofesian dan Pengabdian Masyarakat HMRH 2015/2016, Fery Febriansyah (BE ’12), mengatakan, ”Dengan adanya acara kecil ini, saya pribadi berharap pengabdian masyarakat dapat menjadi solusi berkelanjutan bagi masyarakat termasuk yang ada di sekitar kampus.” Hal ini ditimpali oleh Kepala Divisi Pengabdian Masyarakat HMRH 2015/2016, Arifah Qurrota A’yun (BE ’12), “Ya, saya pun berharap kita semua dapat berkarya yang lebih nyata lagi. Kita semua – bukan hanya mahasiswa/i yang menempatkan dirinya sebagai penggiat bidang pengabdian masyarakat, tapi seluruh massa kampus, khususnya HMRH.” (DR)
sumber : https://hmrh.sith.itb.ac.id/belajar-bersama-di-ibeka/